Bagaimana Nasib Honorer
Selamat malam para bapak dan ibu sekalian, salam sejahtera bagi kita semua, semoga rahmat dan kasihNya selalu tercurah kepada kita semua. Para Bapak dan Ibu sekalian, kali ini saya akan memberikan sebuah informasi mengenai Bagaimana Nasib Honorer untuk kedepannya ?
Bagaimana Nasib Honorer
sejatinya tak bisa disamakan dengan pegawai kontrak apalagi pada
pegawai fungsional pendidikan dan kesehatan misalnya mereka ini GTT dan
PTT, kita ketahui bersama PPPK pegawai pemerintah dengan perjanjian
kontrak hal ini sangat terbalik kalau kita lihat GTT dan PTT mereka ini
sifatnya pekerjaan tetap.
UU
No. 5 Tahun 2014. Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tak
jelas terhadap pegawai honorer. Intinya, intinya UU ASN tidak mengatur
keberadaan pegawai honorer atau sengaja dihapuskan, seperti diatur Pasal
2 ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
berikut berita yang kami Lansir dari Hukum Online...
Secara khusus, pemohon
memohon pengujian Pasal 2 huruf a, i, j (asas manajemen ASN), Pasal 6
(jenis pegawai ASN), Pasal 58 (proses pengadaan PNS), Pasal 67 (Delegasi
PP tata cara pengadaan dan tata cara sumpah PNS) dan Pasal 129 ayat (2)
UU ASN (penyelesaian sengketa PNS). Misalnya, Pasal 6 menyebutkan
Pegawai ASN terdiri atas a. PNS; dan b. PPPK (Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja).
“Pasal-pasal itu membuat
nasib pegawai honorer tidak jelas karena tidak ada pengaturan khusus
bagi pegawai honorer atau pegawai tidak tetap (PTT),” ujar Rohmadi dalam
sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi.
Rochmadi
didampingi Anggota FPHI lainnya, Marsono (Pegawai PTT SMAN Sampung
Ponorogo) dan Arif Kusuma (Pegawai Guru Honorer SD Besuki Ponorogo). Rochmadi
mengatakan berlakunya UU ASN telah membatalkan UU Pokok-Pokok
Kepegawaian yang membagi jenis pegawai negeri menjadi tiga golongan PNS,
TNI/Polri, dan tenaga honorer. Perubahan istilah pegawai honorer
menjadi PPPK ini bertentangan UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Sebab, UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerjaan yang
sifatnya tetap tidak bisa dikontrakkan.
“PPPK sifatnya kontrak, setiap tahun bisa diperpanjang. Padahal, profesi guru, tenaga kesehatan, PTT, sifat pekerjaannya tetap,” ujar Rochmadi di hadapan majelis panel yang diketuai Wahidudin Adams.
Dia melihat melihat UU
ASN banyak pertentangan aturan hukum termasuk dengan PP No. 11 Tahun
2002 tentang Pengadaan PNS dan PP No. 56 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua atas PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi CPNS. Menurut dia berlakunya UU ASN menutup ruang tenaga honorer
untuk bisa diangkat menjadi CPNS. Sebab, kata “pengadaan” dalam Pasal
58 UU ASN menyiratkan hanya untuk pelamar umum, tanpa hak khusus yang
dimiliki tenaga honorer.
“UU ASN “mimpi buruk”
bagi pegawai honorer nonkategori. Alih-alih mewadahi tenaga honorer,
justru memunculkan PPPK, sebelum nasib tenaga honorer dipastikan. Aturan
itu mematikan hak tenaga honorer seperti diamanatkan PP No. 56 Tahun
2012.”
“UU ASN mencerminkan
ketidakpastian hukum yang adil dan diskriminatif yang bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), (3), dan Pasal 28I ayat
(2) UUD 1945,” katanya.
Menanggapi permohonan,
Wahiddudin Adams mempertanyakan legal standing pemohon apakah atas nama
perorangan atau lembaga FPHI?. “Kalau mewakili forum itu, apa status
forum itu berbadan hukum perkumpulan, yayasan, ormas? Ini harus
diperjelas,” kata Wahid.
Dia juga menilai agar
posisi permohonan belum tergambar pertentangan normanya. Uraian
permohonan lebih banyak menguraikan pertentangan dengan UU ASN dengan
peraturan pemerintah. “Permohonan lebih banyak ‘curhatnya’ ya dan
mengkaitkan dengan peraturan pemerintah,” kritiknya.
Dia mengingatkan UU ASN
sebagai reformasi birokrasi sebagai pengganti UU Pokok-Pokok
Kepegawaian, sehingga hanya mengenal PNS dan PPPK. Hal itu tidak bisa
disamakan dengan aturan dalam UU Ketenagakerjaan. “Peraturan pemerintah
yang masih mengacu UU Kepegawaian belum bisa diganti karena berlakunya
UU ASN masih diberi tenggang waktu 2 tahun sejak diterbitkan,” katanya.
Anggota Majelis, Aswanto
meminta pemohon menguraikan kerugian konstitusional dengan
diberlakukannya pasal-pasal baik faktual maupun potensial. ”Ini harus
betul-betul konkrit diurai dalam permohonan, kalau tidak berakibat
permohonan kabur,” kata Aswanto.
Dia menyarankan agar
permohonan ini mengatasnamakan perorangan saja karena FPHI belum
memiliki AD/ART. “Bagian petitum yang banyak itu diubah dengan format
petitum yang berlaku, pemohon bisa melihat contoh-contoh permohoan yang
lazim di MK,” pintanya.
Semoga informasi mengenai Bagaimana Nasib Honorer pada postingan kali ini bisa membantu. Terima Kasih telah berkenan untuk berkunjung.
(Sumber : http://kkgjaro.blogspot.com/)
0 Response to "Bagaimana Nasib Honorer"
Post a Comment